Menguak Sejarah Hari Buruh Dunia dan Indonesia
Menguak Sejarah Hari Buruh Dunia dan Indonesia
Setiap tanggal 1 Mei, kaum buruh dari seluruh dunia memperingati
peristiwa besar demonstrasi kaum buruh di Amerika Serikat pada tahun
1886, yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja.
Tuntutan ini terkait dengan kondisi saat itu, ketika kaum buruh dipaksa
bekerja selama 12 sampai 16 jam per hari. Demonstrasi besar yang
berlangsung sejak April 1886 pada awalnya didukung oleh sekitar 250 ribu
buruh.
Dalam jangka waktu dua minggu membesar menjadi sekitar 350 ribu buruh.
Kota Chicago adalah jantung gerakan diikuti oleh sekitar 90 ribu buruh.
Di New York, demonstrasi yang sama diikuti oleh sekitar 10 ribu buruh,
di Detroit diikuti 11 ribu buruh. Demonstrasi pun menjalar ke berbagai
kota seperti Louisville dan di Baltimore demonstrasi mempersatukan buruh
berkulit putih dan hitam. Sampai pada tanggal 1 Mei 1886, demonstrasi
yang menjalar dari Maine ke Texas, dan dari New Jersey ke Alabama
diikuti oleh setengah juta buruh di negeri tersebut.
Perkembangan ini memancing reaksi yang juga besar dari kalangan
pengusaha dan pejabat pemerintahan setempat saat itu. Melalui Chicago’s
Commercial Club, dikeluarkan dana sekitar US$ 2.000 untuk membeli
peralatan senjata mesin guna menghadapi demonstrasi. Demonstrasi damai
menuntut pengurangan jam kerja itu pun berakhir dengan korban dan
kerusuhan. Sekitar 180 polisi menghadang demonstrasi dan memerintahkan
agar demonstran membubarkan diri.
Sebuah bom meledak di dekat barisan polisi. Polisi pun membabi-buta
menembaki buruh yang berdemonstrasi. Akibatnya korban pun jatuh dari
pihak buruh pada tanggal 3 Mei 1886, empat orang buruh tewas dan puluhan
lainnya terluka. Dengan tuduhan terlibat dalam pemboman delapan orang
aktivis buruh ditangkap dan dipenjarakan. Akibat dari tindakan ini,
polisi menerapkan pelarangan terhadap setiap demonstrasi buruh. Namun
kaum buruh tidak begitu saja menyerah dan pada tahun 1888 kembali
melakukan aksi dengan tuntutan yang sama. Selain itu, juga memutuskan
untuk kembali melakukan demonstrasi pada 1 Mei 1890.
Rangkaian demonstrasi yang terjadi pada saat itu, tidak hanya terjadi di
Amerika Serikat. Bahkan menurut Rosa Luxemburg (1894), demonstrasi
menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam perhari tersebut sebenarnya
diinsipirasikan oleh demonstrasi serupa yang terjadi sebelumnya di
Australia pada tahun 1856. Tuntutan pengurangan jam kerja juga singgah
di Eropa. Saat itu, gerakan buruh di Eropa tengah menguat. Tentu saja,
fenomena ini semakin mengentalkan kesatuan dalam gerakan buruh se-dunia
dalam satu perjuangan.
Peristiwa monumental yang menjadi puncak dari persatuan gerakan buruh
dunia adalah penyelenggaraan Kongres Buruh Internasional tahun 1889.
Kongres yang dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negeri dan
memutuskan delapan jam kerja per hari menjadi tuntutan utama kaum buruh
seluruh dunia. Selain itu, Kongres juga menyambut usulan delegasi buruh
dari Amerika Serikat yang menyerukan pemogokan umum 1 Mei 1890 guna
menuntut pengurangan jam kerja dengan menjadikan tanggal 1 Mei sebagai
Hari Buruh se-Dunia.
Delapan jam/hari atau 40 jam/minggu (lima hari kerja) telah ditetapkan
menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO melalui Konvensi ILO
no. 01 tahun 1919 dan Konvensi no. 47 tahun 1935. Khususnya untuk
konvensi no. 47 tahun 1935, sampai saat ini, baru 14 negara yang
menandatangani konvensi tersebut. Ditetapkannya konvensi tersebut
merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung
merupakan buah dari perjuangan kaum buruh se-dunia untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak. Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah satu
ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan adalah penanda
berakhirnya bentuk-bentuk kerja-paksa dan perbudakan yang bersembunyi di
balik hubungan industrial.
Masalahnya saat ini, semakin banyak buruh yang terpaksa bekerja lebih
dari 8 jam perhari. Hal ini disebabkan oleh memburuknya krisis
imperialisme yang menekan upah dan mempertinggi biaya kebutuhan pokok
untuk kehidupan. Di Indonesia sendiri, perayaan May Day sebagai hari
libur telah secara resmi dihapuskan melalui terbitnya UU nomor 13 tahun
2003. Secara tidak langsung, kemenangan buruh dalam gerakan 1 Mei
mengalami kemerosotan tajam. Makin lama makin menghilang.
Pertemuan di hari berikut, 4 Mei 1886, berlokasi di bunderan lapangan
Haymarket, para buruh kembali menggelar aksi mogoknya dengan skala yang
lebih besar lagi, aksi ini jaga ditujukan sebagai bentuk protes tindakan
represif polisi terhadap buruh. Semula aksi ini berjalan dengan damai.
Karena cuaca buruk banyak partisipan aksi membubarkan diri dan kerumunan
tersisa sekitar ratusan orang. Pada saat itulah, 180 polisi datang dan
menyuruh pertemuan dibubarkan. Ketika pembicara terakhir hendak turun
mimbar, menuruti peringatan polisi tersebut, sebuah bom meledak di
barisan polisi. Satu orang terbunuh dan melukai 70 orang diantaranya.
Polisi menyikapi ledakan bom tersebut dengan menembaki kerumunan pekerja
yang berkumpul, sehingga 200 orang terluka, dan banyak yang tewas.
Pengadilan spektakuler kedelapan anarkis tersebut adalah salah satu
sejarah buram lembaga peradilan AS yang sangat dipengaruhi kelas borjuis
Chicago. Pada 21 Juni 1886, tanpa ada bukti-bukti kuat yang dapat
mengasosiasikan kedelapan anarkis dengan insiden tersebut (dari
kedelapan orang, hanya satu yang hadir. Dan Ia berada di mimbar
pembicara ketika insiden terjadi), pengadilan menjatuhi hukuman mati
kepada para tertuduh. Pada 11 November 1887, Albert Parsons, August
Spies, Adolf Fischer, dan George Engel dihukum gantung. Louise Lingg
menggantung dirinya di penjara.
Sekitar 250.000 orang berkerumun mengiringi prosesi pemakaman Albert
Parsons sambil mengekspresikan kekecewaan terhadap praktik korup
pengadilan AS. Kampanye-kampanye untuk membebaskan mereka yang masih
berada di dalam tahanan, terus berlangsung. Pada Juni 1893, Gubernur
Altgeld, yang membebaskan sisa tahanan peristiwa Haymarket, mengeluarkan
pernyataan bahwa, “mereka yang telah dibebaskan, bukanlah karena mereka
telah diampuni, melainkan karena mereka sama sekali tidak bersalah.” Ia
meneruskan klaim bahwa mereka yang telah dihukum gantung dan yang
sekarang dibebaskan adalah korban dari ‘hakim-hakim serta para juri yang
disuap.’ Tindakan ini mengakhiri karier politiknya.
Bagi kaum revolusioner dan aktifis gerakan pekerja saat itu, tragedi
Haymarket bukanlah sekadar sebuah drama perjuangan tuntunan ‘Delapan Jam
Sehari’, tetapi sebuah harapan untuk memerjuangkan dunia baru yang
lebih baik. Pada Kongres Internasional Kedua di Paris, 1889, 1 Mei
ditetapkan sebagai hari libur pekerja. Penetapan untuk memperingati para
martir Haymarket di mana bendera merah menjadi simbol setiap tumpah
darah kelas pekerja yang berjuang demi hak-haknya.
Meskipun begitu, komitmen Internasional Kedua kepada tradisi May Day
diwarisi dengan semangat berbeda. Kaum Sosial Demokrat Jerman, elemen
yang cukup berpengaruh di Organisasi Internasional Kedua, mengirim
jutaan pekerja untuk mati di medan perang demi ‘Negara dan Bangsa.’
Setelah dua Perang Dunia berlalu, May Day hanya menjadi tradisi usang,
di mana serikat buruh dan partai Kiri memanfaatkan momentum tersebut
demi kepentingan ideologis. Terutama di era Stalinis, di mana banyak
dari organisasi anarkis dan gerakan pekerja radikal dibabat habis di
bawah pemerintahan partai komunis. Hingga hari ini, tradisi May Day
telah direduksi menjadi sekadar ‘Hari Buruh’, dan bukan lagi sebuah hari
peringatan kelas pekerja atau proletar untuk menghapuskan kelas dan
kapitalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar